Menaksir Kerugian Ekologis Erupsi Gunung Merapi 2010

Citasi: Marhaento, H., & Kurnia, A. (2015). REFLEKSI 5 TAHUN PASKA ERUPSI GUNUNG MERAPI 2010: MENAKSIR KERUGIAN EKOLOGIS DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI. Geoplanning: Journal Of Geomatics And Planning, 2(2), 69-81. doi:10.14710/geoplanning.2.2.69-81

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung paling aktif di dunia. Erupsi Gunung Merapi terjadi dalam siklus 4 – 6 tahun sekali (Surono dkk., 2012). Menurut Van Boekhold (1972) dan Newhall dkk (2000), erupsi Gunung Merapi yang terdokumentasi pertama kali terjadi pada tahun 1786 – 1791. Van Bemellen (1942) dalam bukunya ‘The Geology of Indonesia’ menyampaikan bahwa pada tahun 1006 diduga pernah terjadi erupsi besar Gunung Merapi sehingga mengubur candi Borobudur dan menghancurkan kerajaan Mataram Kuno (berpindah ke Jawa Timur). Secara berurutan, sejak terdokumentasi pada tahun 1791 erupsi Gunung Merapi skala besar terjadi pada tahun 1822, 1872, dan 1930 (Voight dkk., 2000). Pada 10 tahun terakhir, tercatat 2 erupsi cukup besar yang terjadi pada tahun 2006, dan puncaknya pada tahun 2010 yang diperkirakan merupakan siklus ulang 100 tahunan Gunung Merapi (Surono dkk., 2012).

merapi

sumber foto: kaskus.co.id

Kronologi kejadian erupsi Gunung Merapi tahun 2010 dimulai pada tanggal 20 September 2010 dimana status Gunung Merapi ditingkatkan dari ‘normal’ menjadi ‘waspada’ (Surat Badan Geologi No. 46/45/BGL.V/2010). Pada 21 Oktober 2010, status tersebut meningkat menjadi ‘siaga’ (Surat Badan Geologi No. 393/45/BGL.V/2010). Puncaknya pada tanggal 25 Oktober 2010 saat status Gunung Merapi ditetapkan menjadi ‘awas’ (Surat Badan Geologi No. 2048/45/BGL.V/2010). Pada tanggal 26 Oktober 2010, Gunung Merapi erupsi pertama kali dengan mengeluarkan awan panas (wedhus gembel) yang kemudian disusul letusan besar pada tanggal 5 November 2010. Menurut data Pusat Informasi Pengembangan Pemukiman dan Bangunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (PIP2BDIY), erupsi Gunung Merapi sejak tanggal 26 Oktober 2010 telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 346 orang (www.pip2bdiy.org). Kerusakan yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi berdampak pada sektor permukiman, infrastruktur, telekomunikasi, listrik dan energi, serta air bersih.

Berdasarkan hasil penilaian kerusakan dan kerugian yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui metode dari Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC) (www.eclac.cl), erupsi Gunung Merapi tahun 2010 telah menimbulkan kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 4,23 trilyun (www.bnpb.go.id). Lebih rinci dijelaskan bahwa jumlah nilai kerusakan adalah Rp. 1,138 trilyun (27%), sedangkan jumlah nilai kerugian adalah Rp. 3,089 trilyun (73%). Nilai kerusakan paling besar dialami oleh sektor perumahan yang mencapai 39% dari total nilai kerusakan, disusul oleh kerusakan sektor sumber daya air dan irigasi yang mencapai 13% dari total nilai kerusakan. Kerugian terbesar dialami sektor pertanian dengan nilai kerugian mencapai Rp. 1,326 trilyun atau 43% dari total nilai kerugian. Disusul oleh kerugian sektor industri dan UMKM sebesar Rp. 382 milyar atau 12,4% dari nilai kerugian. Secara keseluruhan sektor pertanian budidaya dan tanaman pangan tetap menjadi sektor yang paling terkena dampak  dengan nilai total dampak Rp. 1,326 trilyun yang merupakan 31,4% dari nilai total kerusakan dan kerugian. Sektor Perumahan senilai Rp. 512,6 milyar yang merupakan 13% dari nilai kerusakan dan kerugian serta sektor industri dan UMKM dengan nilai total dampak sebesar 415,4 Milyar atau 11% dari total.

Perhitungan kerusakan dan kerugian akibat bencana erupsi Gunung Merapi oleh BNPB tersebut adalah hasil perhitungan aset rusak yang dimoneterisasi (nilai langsung), sementara kerugian tidak langsung dari dampak erupsi yaitu kerusakan ekosistem, keanekaragaman hayati dan penurunan fungsi ekologis jangka pendek dari kawasan Gunung Merapi belum dapat diukur nilai kerugiannya. Hancurnya berbagai tipe vegetasi akibat awan panas berdampak pula pada kematian berbagai jenis satwa liar yang berhabitat di kawasan hutan Gunung Merapi (Dove, 2008). Sebagian satwa liar yang masih bertahan hidup pun rentan mengalami kematian karena keterbatasan sumber pakan yang diakibatkan rusaknya habitat. Beberapa satwa liar yang dimungkinkan selamat juga mengalami ancaman kematian karena keterbatasan tempat pelarian (refugee) di sekitar kawasan Gunung Merapi. Selain itu, kerusakan daerah tangkapan air akan mempengaruhi pasokan air ke wilayah hilir dan kerusakan hutan akan mengurangi potensi penyedia oksigen dan penyerap karbon (Djuwantoko dkk., 2005).

Menurut UU No.5 tahun 1990 Taman Nasional adalah salah satu bentuk kawasan konservasi yang dicirikan dengan keberadaan ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Terdapat 3 fungsi utama dalam pengelolaan taman nasional, yaitu: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, (3) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Indrawan dkk. (2007) menjelaskan bahwa paling tidak terdapat tiga alasan ditetapkannya suatu kawasan sebagai area konservasi yaitu adanya aspek keunikan (khas), keterancaman, dan kegunaan.

Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan kawasan konservasi yang unik. Selain menyangga gunung api paling aktif di Indonesia, ekosistem hutan di TNGM berfungsi sebagai daerah tangkapan air kawasan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, habitat berbagai flora dan fauna yang dilindungi, kantong berbagai plasma nutfah yang potensial, dan fungsi sosial dan religius (Djuwantoko dkk., 2005; Dove, 2008). Keberadaan Gunung Merapi yang dapat meletus sewaktu-waktu menyebabkan ekosistem di TNGM memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi (Marhaento dan Faida, 2015). TNGM dikelola oleh Balai Taman Nasional (BTN) Gunung Merapi yang memiliki 2 Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN), yaitu SPTN I yang mencakup wilayah Kabupaten Magelang dan Kabupaten Sleman, dan SPTN 2 yang mencakup wilayah Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali. SPTN 1 mencakup 4 RPTN yaitu RPTN Turi-Pakem, RPTN Cangkringan, RPTN Srumbung dan RPTN Dukun, sedangkan SPTN 2 mencakup 3 RPTN yaitu RPTN Selo, RPTN Musuk-Cepogo dan RPTN Kemalang.

Valuasi ekonomi lingkungan merupakan suatu instrumen ekonomi untuk mengestimasi nilai moneter dari produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan (Garrod dan Willis, 1999; ). Instrumen ini penting digunakan untuk mengukur potensi keuntungan/kerugian yang disebabkan oleh adanya perubahan pemanfaatan sumber daya alam (Pramono, 2009). Pada suatu ekosistem yang rapuh seperti halnya di TNGM, valuasi ekonomi lingkungan dapat digunakan sebagai alat untuk menaksir potensi kerugian ekologis yang muncul apabila ekosistem yang ada di kawasan tersebut rusak.

Tanggal 26 bulan Oktober 2015 ini akan menjadi peringatan 5 tahun kejadian erupsi Gunung Merapi yang menimbulkan ratusan korban jiwa dan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kerusakan yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) paska erupsi Gunung Merapi tahun 2010 sekaligus menaksir kerugian ekologis jangka pendek yang ditimbulkan. Kerugian jangka pendek yang dimaksud adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat rusaknya sumber daya alam sesaat setelah terdampak erupsi.

Selengkapnya >>> DOI: 10.14710/geoplanning.2.2.69-81