GIS-based analysis for assessing landslide and drought hazard in the corridor of Mt. Merapi and Mt. Merbabu National Park, Indonesia

Published / by Hero Marhaento SHut MSi

Marhaento, H. (2016). GIS-based analysis for assessing landslide and drought hazard in the corridor of Mt. Merapi and Mt. Merbabu National Park, Indonesia. Geoplanning: Journal of Geomatics and Planning, 3(1), 15-22. doi:10.14710/geoplanning.3.1.15-22

The 5th World Congress on National Parks in Durban, South Africa in 2003 under the theme Benefits Beyond Boundaries recommended that the principle of collaborative management between public bodies and local communities become a new model in the management of national parks (IUCN, 2005). A manifestation of this new paradigm is the arrangement of the buffer zone of protected areas. Conceptually, a buffer zone aims to enhance the conservation values of the buffered area (regulation of Indonesian Government No.68 of 1998). A buffer zone that connects two or more protected areas is known as a corridor area (Beier & Noss, 1998; Indrawan et al., 2012).

Corridor area can be production forests and plantations, and even cultivated lands owned by communities, which, if it is designed properly, will be a valuable conservation tool (Beier & Noss, 1998). Management of corridor area so far focused on its function as the expansion of protected areas to connect between biomes (Joshi et al., 2013; Wangchuk, 2007). Numerous studies had been done to explain the function of the corridor area as wildlife migration path especially those with a broad range o f habitat (Douglas-Hamilton et al., 2005; Joshi et al., 2011; Silveira et al., 2014). However, the presence of people who live in the corridor can be a threat to the survival of wildlife migration process (Kushwaha & Hazarika, 2004). The expansion of settlements and cultivation of seasonal crops became the most influential factor to disturb the existence of the corridor (Joshi et al., 2011). One of the efforts to preserve the corridor area is through spatial planning and land management of it.

In contrast to that of the other types of region, spatial planning of a corridor area has rarely got attention (Pouzols & Moilanen, 2014). Moreover, McRae et al., (2012) stated that there is a lack of spatial planning in a corridor area that focuses on protecting biological diversity in all levels (genetic, species, and landscapes). One of the obstacles is less of understanding between protected area managers and regional governments (Anshari, 2006). In addition, people who live in corridor area are also lack of understanding about other functions of protected area, especially as a water and soil regulator to prevent natural disasters (Qutni, 2004).

The aspects of disaster vulnerability in the corridor management strategy are still new and challenging. We believe that putting the element of disaster management in corridor areas is one of the solutions to reach an understanding between protected area managers, local communities, and local governments. Issues on disaster mitigation are more attractive than biodiversity protection so that it may gain more support from local community and local government. In addition, it is obligatory for local governments to protect communities from future disaster as stated in the Indonesia Law No. 24 of 2007 on Disaster Management.

This study aims to analyze the two potential hazards in the corridor area of Mt. Merapi National Park (MMNP) and Mt. Merbabu National Park (MMbNP), namely landslides and drought. The corridor area of MMNP and MMbNP comprises administratively the Sawangan sub-district (Magelang district), Selo subdistrict, Cepogo sub-district and Ampel sub-district (Boyolali district) (see Figure 1). According to INFRONT (2008), these research areas are classified landslides prone caused by non-conservative tillage practice on the land use management. Moreover, agricultural productivity in the research sites is threatened to decrease due to hydrometeorological conditions (Putri, 2008). The results of this study will be useful as an advice for the conservation manager and local government to manage the corridor area based on disaster mitigation of landslides and drought hazard.

admin

Figure 1. Area of study

 

 

 

Risiko Kepunahan Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Gunung Merapi: Tinjauan Spasial

Published / by Hero Marhaento SHut MSi

Citasi: Marhaento, H & Faida, L.R.W. (2015). Risiko kepunahanan keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gunung Merapi: Tinjauan spasial. Jurnal Ilmu Kehutanan, 9(2), 75 – 84

Keanekaragaman hayati merupakan sumberdaya vital bagi keberlanjutan hidup umat manusia. Keanekaragaman hayati berperan penting dalam menyediakan kebutuhan barang dan jasa, mengatur proses dan fungsi ekosistem sehingga kehidupan dapat terus berlangsung (Balvanera et al., 2006; ; Chapin et al., 2000; Loreau et al., 2001). Namun demikian, keanekaragaman hayati saat ini menghadapi resiko kepunahan yang tinggi karena tingginya laju kerusakan lingkungan (Kuussaari et al., 2009). Salah satu upaya untuk menjaga eksistensi keanekaragaman hayati dan mencegahnya dari kepunahan adalah dengan menunjuk dan menetapkan kawasan konservasi (Indrawan et al., 2007), salah satunya adalah taman nasional.

Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan kawasan konservasi yang unik. Selain menyangga gunung api paling aktif di Indonesia, ekosistem hutan di TNGM berfungsi sebagai daerah tangkapan air kawasan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, habitat berbagai spesies flora dan fauna yang dilindungi, kantong berbagai plasma nutfah yang potensial, dan fungsi sosial dan religius (Djuwantoko et al., 2005). Keberadaan Gunung Merapi yang dapat erupsi sewaktu-waktu dan tingginya tekanan masyarakat terhadap kawasan menyebabkan keanekaragaman hayati di TNGM memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi (TNGM, 2011).

Salah satu upaya untuk mencegah kepunahan keanekaragaman hayati di TNGM adalah dengan melakukan analisis risiko. Analisis risiko adalah salah satu kajian yang digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan (Decision Support Systems) dengan mendasarkan pada analisis kerawanan (hazard), kerentanan (vulnerability), dan jumlah yang berisiko (element at risk) (UNDRO, 1982). Analisis risiko kepunahan keanekaragaman hayati adalah upaya untuk mengukur potensi terjadinya kepunahan keanekaragaman hayati akibat adanya gangguan dari faktor alam maupun non alam.

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur secara spasial tingkat risiko kepunahan keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Tingkatan keaneakaragaman hayati yang menjadi obyek analisis adalah tingkatan spesies. Manfaat dari penelitian adalah sebagai penyedia informasi awal dalam upaya mitigasi kepunahan keanekaragaman hayati di kawasan TNGM.

baca selengkapnya >>>

merapi

PhD: 3 tahun apa 4 tahun?

Published / by Hero Marhaento SHut MSi

“Wah, berarti akhir tahun ini selesai yaa PhD-nya.. ditunggu kontribusinya di Universitas lho mas Hero”.

“Tapi studi saya masih sampai akhir tahun 2017, bu. Bukan 3 tahun, tapi 4 tahun”.

“Kok 4 tahun? bukannya PhD selesai 3 tahun?”.

dan saya-pun hanya meringis menanggapi pertanyaan bu Rektor dan berusaha menjelaskan ke beliau bahwa PhD di Belanda memang 4 tahun kontrak.

Pertanyaan bu Dwikorita mengenai durasi waktu studi PhD, saat pertemuan di Den Haag 4 February 2016 yang lalu, bukan yang pertama kali saya terima. Cukup banyak pertanyaan dari kolega lain yang dasarnya dari membandingkan dengan studi S3 di Indonesia yang ‘hanya’ 3 tahun. Selain itu, beberapa kolega di kampus yang studi S3 di Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, dan negara2 Asia seperti Thailand, Malaysia dan China juga menyelesaikannya dalam 3 tahun. Agak aneh memang, kok studi di Belanda mbedani dewe. Well, tidak hanya Belanda sih yang standar studi S3 nya 4 tahun, setahu saya Amerika Serikat juga 4 tahun (sebagian besar Universitas di US bahkan menetapkan 5 tahun: 2 tahun kuliah dan 3 tahun penelitian). Saya terus terang tidak tahu detil apa yang membedakan antara studi S3 yang durasi 3 tahun dan 4 tahun (atau lebih). Yang pasti, dampak perbedaan durasi studi tersebut sangat terasa bagi promovendus yang studi dengan beasiswa pemerintah i.e. DIKTI. Yes, karena seluruh penerima beasiswa S3 dari DIKTI dipukul rata selesai dalam 3 tahun, yang artinya biaya tuition fee, living allowance, dll hanya ditanggung selama 3 tahun. Memang ada kemungkinan perpanjangan 2 semester dengan pengajuan per semester, namun persyaratan administrasinya kadang menyulitkan! Akibatnya, pengajuan perpanjangan studi tahun ke-4 ini belum tentu diterima. Lah, terus bagaimana donk nasib DIKTIers yang studi S3 di Belanda? yang untuk selesai tepat waktu 4 tahun aja susyehhh-nya minta ampun.. 😀

comics

Photo: nasib Diktiers tahun ke-4

 

Saya beruntung menerima beasiswa S3 DIKTI dengan skema kerjasama antara DIKTI dan KNAW (semacam dikti-nya Belanda) yang menjelaskan bahwa beasiswa tahun ke-4 saya ditanggung oleh Universitas tujuan. Namun, beberapa kawan saya DIKTIers S3 di Belanda ada yang bernasib kurang beruntung. Sebagai contoh, kasus yang dialami kawan saya dari universitas di Malang. Perpanjangan beasiswa semester 7 nya tidak diterima oleh DIKTi dengan alasan berkas yang kurang lengkap. Padahal, kawan saya tersebut mengaku sudah melengkapi berkas dengan lengkap, sesuai yang diminta DIKTI. Ybs sempat bertahan dengan biaya sendiri (dibantu profesor) selama 6 bulan sambil mengurus kemungkinan diterima perpanjangan oleh DIKTI. Namun apa mau dikata, perpanjangan tetap gagal diperoleh dan ybs harus pulang ke Indonesia dan akan kembali lagi ke Belanda kalo sudah waktunya defense. Ybs hingga saat ini sudah 1 tahun pulang ke Indonesia dan belum kembali lagi ke Belanda. Kasus lain, kawan DIKTIers dari satu universitas di Jogja hanya memperoleh living allowance saat perpanjangan semester 7, sementara tuition fee nya tidak dapat. Lah, terus dibayar pake opo donk tuition fee-nya? Saat ini ybs sedang mengupayakan bantuan dari universitas asal untuk membantu membayarkan tuition fee-nya. Dua contoh tersebut hanya sebagian kecil masalah yang muncul karena kekakuan sistem beasiswa DIKTI dalam menyamaratakan durasi studi S3 yang ‘hanya’ 3 tahun. Fyi, salah satu dasar kekakuan DIKTI dalam durasi studi S3 adalah Permendikbud No 49 Tahun 2014 yang menjelaskan di Pasal 17 ayat (3) point 7: “paling sedikit 3 (tiga) tahun untuk program doktor, program doktor terapan, dan program spesialis dua”.

Jadi jelas bahwa tidak banyak yang tahu kalau studi S3 di Belanda (paling cepat) selesai dalam 4 tahun! Sistem S3 di Belanda memang beda dengan kebanyakan negara lain. Kami disini berstatus sebagai pegawai (medewerker), bukan sebagai pelajar (student). Sejak awal saya sudah dijelaskan oleh promotor bahwa kontrak S3 saya berdurasi 4 tahun dengan capaian minimal 4 paper yang terpublikasi (or at least accepted) di Jurnal bereputasi (list Q1 di Scimagojr atau Impact Factor > 2.5). Asesmen awal dilakukan di 6 – 9 bulan pertama dimana kandidat doktor harus lulus defense proposal, dengan kemungkinan perpanjangan (perbaikan) 3 bulan. Selain itu, kandidat juga diberi beban perkuliahan (termasuk nulis proposal, bimbing S2, dll.) sebesar 30 ECTS yang bisa diambil dan dipilih sesuai kebutuhan penelitian. Saat awal dibriefing profesor seperti itu saya hanya manggut-manggut ora donk. Saya masih terbawa suasana euforia karena bisa studi di Belanda dan benar-benar tidak ada bayangan seberapa tough-nya menulis paper di jurnal bereputasi A. Maklum, track-records saya sebelumnya cuma nulis paper untuk jurnal nasional saja atau mentook paper untuk seminar internasional. Setelah hampir 2,5 tahun, ternyata eh ternyata, nulis paper peer-reviewed itu ..hufffftttttt.. *tarik nafas dalammmmm bangettt sesuatuu banget nget nget.. bisa bikin kita jadi lebih dekat dengan Alloh SWT, dan jadi lebih sering istighfar.. 🙂

IMG-20160124-WA0060

Photo: my reflection

 

Kembali ke laptop! jadi 4 tahun apa mesti lulus? jawabannya Insya Allah.. memang harus banyak2 doa supaya pas 4 tahun. Sejauh yang saya tahu, kalau menggunakan standar yang saya sebut tadi dan bisa lulus PhD di Belanda pas 4 tahun, itu berarti kandidat memang super dahsyatt. Hitung2 saja, waktu riil untuk penelitian hanya 3 tahun (1 tahun-nya untuk orientasi, mengambil kelas kuliah, proposal writing dan defense) dengan target 4 paper, dan waktu tunggu PhD defense yang biasanya mencapai 6 bulan sejak submission draft thesis. Untuk yang studi bidang Geoscience, harus ditambahi dengan field works untuk mendapatkan data. Jadi, bagi Diktiers di Belanda yang mengalami gagal perpanjangan tahun ke-4, itu bener-bener (seperti) menaruh garam di atas luka.. perihhh man! pengelola beasiswa DIKTI seharusnya memperhatikan masalah durasi (normal) studi, jangan mensamaratakan selama 3 tahun! Perpanjangan beasiswa bagi Diktiers S3 di Belanda seharusnya dimulai dari semester 9 instead of semester 7. Pilihan harus menyelesaikan studi di Indonesia itu sangat beratttt karena amat sangat susyahh untuk bisa fokus penelitian dan nulis di lingkungan yang kurang mendukung.

I don’t mean to discourage you to pursue your PhD in NL! After all, you decide what you are. Ada banyak juga rekan yang sukses lulus PhD dalam waktu cepat, walaupun tidak tepat waktu amat. Memang susah, tapi benar-benar whorty! Saya merasakan nikmat yang tiada terkira saat menjalani PhD life ini, bisa fokus melakukan penelitian dan nulis paper ternyata sangat mengasyikkan. Apalagi kalau paper kita accepted di jurnal grade A dan bisa publish! wuihhh, rasanyaaa seperti menang lotere! 😀

Bob Marley pernah ngomong, “Though the road’s been rocky it sure feels good to me.” Yes, I love doing this! Pengalaman seumur hidup, bisa hidup di Eropa dan menjelajahi dunia (melalui conferences, courses, etc.). Menjadi bagian dari global citizen. Mau selesai 3 tahun atau 4 tahun (atau lebih) menjadi tidak penting lagi. I just wanna do my best!

———

Enschede, 8 February 2016

21:13 CET

 

 

 

 

Quantifying the contribution of land use and climate change to stream flow alteration in tropical catchments

Published / by Hero Marhaento SHut MSi

Citation: Marhaento, H., Booij, M. J., & Hoekstra, A. Y. (2015). Quantifying the contribution of land use and climate change to stream flow alteration in tropical catchments. In EGU General Assembly Conference Abstracts (Vol. 17, p. 5661).

A new approach is introduced to measure the quantitative contribution of land use and climate change to stream flow alteration based on the changes in the proportion of excess water relative to changes in the proportion of excess energy. The quantitative contribution is estimated based on three measures: (1) the resultant length (R) which indicates the magnitude of the changes in the proportion of excess water and energy with a higher resultant indicating a higher magnitude; (2) the slope of change (θ in arc degree) which indicates the magnitude of the contribution of land use and climate changes with a higher slope reflecting a higher contribution of climate change; and (3) the relative contribution of land use and climate changes to stream flow alteration (C in %). In this study, we applied our approach to five catchments (Pidekso, Keduang, Samin, Madiun and Kening) ranging in size from 234 to 3759 km2 on Java, Indonesia. The hydro-climatic data cover the period 1975 – 2012 and the land use maps acquired from multi-temporal satellite imageries (i.e. for the years 1972, 1994, 2002 and 2013) were used and analyzed. The approach consists of four steps: (1) performing abrupt change detection on annual stream flow using Pettitt’s test; (2) calculating the proportion of excess water and the proportion of excess energy for the period before and after the abrupt change of the stream flow; (3) calculating the quantitative contribution of land use and climate change to stream flow changes; (4) comparing the results with the Mann-Kendall trend analysis of variability in precipitation and potential evapotranspiration, and the land use change analysis. The results show that all catchments have a simultaneous increase of the proportion of excess water and energy for the period after the abrupt change compared to the period before the abrupt change. The Samin catchment gives the highest R value with a value of 0.9 followed by Pidekso catchment (0.7), Keduang catchment (0.6), Madiun catchment (0.4) and Kening catchment (0.1). The highest θ value occurred in the Kening catchment with a value of 58.9 followed by Pidekso catchment (7.8), Samin catchment (7.6), Madiun catchment (3.1) and Keduang catchment (0.15). The quantitative contribution of land use change to stream flow alteration is 99.7% for the Keduang catchment followed by Madiun catchment (95.0%), Samin catchment (88.2%), Pidekso catchment (88.0%) and Kening catchment (37.6%). The results are in line with the results of the Mann-Kendall trend analysis for climate variability, where the precipitation has significantly changed only for Keduang (a positive trend) and Samin catchment (a negative trend) and the potential evapotranspiration has not significantly changed for all catchments. On the other hand, land use has significantly changed for all catchments particularly during the period 1994 – 2002 when the abrupt changes in stream flow were also found. We conclude that land use change has a more dominant contribution to changes in annual stream flow than climate change for the study catchments except in the Kening catchment.

http://meetingorganizer.copernicus.org/EGU2015/EGU2015-5661.pdf

“Ngobrol dengan Bu Rektor”

Published / by Hero Marhaento SHut MSi

“Kagama adalah salah satu driving power Universitas Gadjah Mada”. Kalimat tersebut diucapkan tegas oleh bu Dwikorita Karnawati, Rektor UGM, ketika menghadiri acara temu warga Kagama cabang khusus Belanda di Aula Nusantara, KBRI Den Haag tadi malam 4 February 2016. Acara yang diberi tajuk “Ngobrol dengan bu Rektor” ini berlangsung santai dan penuh kekeluargaan dan dihadiri oleh kurang lebih 35 orang alumni Universitas Gadjah Mada yang tinggal di Belanda. Berikut sekilat informasi jalannya acara yang asyikkk dan juga sangat mengenyangkan ini 😀 me love it!

Acara dimulai tepat pukul 19:30 setelah bu Rektor hadir di Aula Nusantara KBRI Den Haag ditemani mas Danang, Deputy Director di Directorate of Partnership, Alumni and Global Initiative UGM. Saya sendiri sudah sampai di KBRI Den Haag gasik sejak pk.16:30 karena sekalian mengurus perpanjangan paspor. Setelah urusan perpanjangan paspor selesai, sambil menunggu acara mulai saya ngrusuhi sahabat saya mas Azis Nurwahyudi di ruang kantornya, Minister Counsellor Pensosbud. Ndilalah ada juga mas Surahyo, rekan Kagama Belanda dari Groningen, yang juga menunggu acara di ruangannya mas Azis. Lumayan, ruangannya mas Azis juembarrr jadi bisa leyeh-leyeh, nge-tea anget, plus dapat icip2 roti Bagelen dan Nasi Bakar! Sedaaapppp.. 😀

collage-2016-02-05(1)

Gara-gara ngobrol dan nggosip dengan mas Azis dan mas Surahyo, 2 jam nunggu jadi tidak berasa. Setelah magriban, kami meluncur ke Aula Nusantara yang sudah di-set oleh staf KBRI Den Haag. Di Aula Nusantara, suasana sudah cukup ramai. Mas Usman dan mas Danang, diplomat yang jago nyanyi, saling bergantian nyanyi tiada henti mulai dari lagu2nya Kahitna, Boulevard-nya Dan Byrd, sampe lagunya Chikita Meidi.. wuelokk tenannn :D. Rekan2 Kagama pun mulai berdatangan, dari Utrecht, Groningen, Den Haag, Enschede, Hengelo, Delft, Amsterdam, Leiden dll. pak Pudjo Semedi, Dekan FIB UGM datang bersama rombongan Leiden karena memang berbeda agenda dengan bu Rektor. Pak Ibnu, Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar RI di Den Haag, datang bersama ibu, dan langsung berbaur dengan rekan2 Kagama lainnya untuk menunggu kedatangan bu Rektor. Kurang lebih pk. 19:30, bu Rektor datang bersama mas Danang dan Prof Bambang Hari Wibisono, atase Pendidikan dan Kebudayan KBRI Den Haag, dan acara-pun langsung dimulai dengan…. yes, makan malam! ini dia yang ditunggu-tunggu 😀 Menu, seperti biasalah, R.A.W.O.N. whaaaaaaa! langsung kalap! dan suasana meja makan langsung hening karena semua pada kusyuk menikmati holy rawon..

?????????????
Photo: Kusyuk merawon

Jam 20:00, seusai makan malam, pak Ibnu memberikan sambutan dan kemudian mempersilakan bu Rektor dan saya, yang kebetulan kedapuk jadi moderator dialog, untuk memulai acara. Bu Rektor mengawali obrolan dengan menceritakan agenda beliau di Italia dan Belanda dari tgl 2 – 5 Feb 2016. Di Italia, beliau diundang oleh QS untuk menyampaikan pandangan tentang “Engineering Emancipation: STEM Education and Female Advancement”. Selain menyampaikan pendapat terkait female leadership, di forum tersebut beliau juga menyampaikan kritiknya terhadap QS, sebagai lembaga perankingan universitas di seluruh dunia, untuk memasukkan parameter2 terkait values bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan misi UGM sebagai kampus kerakyatan untuk menjadi Menara Air, yang bermanfaat untuk seluruh masyarakat dan bukan menjadi menara gading, yang tampak megah tapi tidak merakyat. Di Belanda, agenda beliau cukup padat. Selain memang ingin bertemu dengan Kagama Belanda, ehemm jd Ge-Er 😀, beliau menjajagi kerjasama dengan High Tech Campus Eindhoven, dengan THNK School of Creative Leadership, Amsterdam, dan dengan KNAW, Dikti-nya Belanda.

bu rektor

Photo: Asyikkk, bisa mejeng dengan bu Rektor. Klo dah balik kampus belum tentu bisa kayak gini lagi 😀

Setelah menyampaikan agenda kegiatan selama di Italia dan Belanda, bu Rektor mempersilakan rekan2 Kagama Belanda untuk bertanya, urun usul, curhat, dll. minta sangu boleh gak bu? *ngarep.. Kesempatan ini pun langsung disamber kaya’ mikrolet oleh rekan2 Kagama NL. Berbagai usulan, pertanyaan, curhatan pun dijawab dengan sangat memuaskan oleh bu Rektor. Berikut rangkuman obrolan bu Rektor dengan Kagama NL.

  1. Rennie Ross, mantan pelajar Belanda yang pernah studi di UGM selama 1 tahun, menawarkan kerjasama dalam pengembangan e-learning bagi pelajar sekolah. Bu Rektor menanggapi bahwa UGM sudah memiliki sistem e-learning dan usulan Rennie untuk mengembangkan lebih luas sangat bagus dan akan ditindaklanjuti melalui berbagai skema pengabdian masyarakat yang selama ini dilakukan UGM.
  2. Fadhilla, Delft mengusulkan kepada UGM untuk memudahkan mahasiswa-nya mengambil kuliah lintas fakultas dan universitas sesuai pengembangan keilmuan dan minat, seperti halnya yang ada di sistem pendidikan di NL. Bu Rektor menanggapi bahwa saat ini kegiatan riset dan perkuliahan lintas bidang sudah berjalan di UGM. Berbagai peraturan rektor sudah dikeluarkan untuk mendukung perbaikan kurikulum, salah satunya untuk menyelenggarakan perkuliahan berbasis riset yang pelaksanaannya lintas disiplin ilmu.
  3. Pak Ibnu, KBRI menyampaian bahwa salah satu kunci keberhasilan negara adalah adanya kolaborasi antara Pemerintah-Industri-Akademisi (tripple helix). Saat ini kolaborasi pemerintah-industri sudah cukup baik, akademisi masih tertinggal. KBRI akan mengundang UGM untuk turut serta dalam ICT Roadshow 2016 pada bulan Maret, sebagai media konsinyasi dengan pelaku industri dan pemerintah. Bu Rektor menanggapi sangat positif usulan dan tawaran dari KBRI. Saat ini UGM memiliki berbagai peraturan rektor yang bertujuan untuk mengembangkan jiwa entrepreneur civitas UGM. Mahasiswa dan dosen diharapkan mampu menghasilkan karya penelitian yang bisa langsung bermanfaat untuk masyarakat (hilirisasi riset). Update terkini, beberapa start-up milik mahasiswa UGM mendapat berbagai penghargaan diantaranya di Silicon Valley, US dan di London.
  4. Ade. Den Haag mengusulkan UGM untuk berkarya di pulau-pulau terluar dan perbatasan negara karena mereka butuh banyak perhatian. Selain itu, UGM diharapkan mau menerima pelajar dari pulau2 terluar tersebut untuk dapat menjadi mahasiswa UGM melalui jalur khusus. Bu Rektor menanggapi sangat positif usul untuk mengembangkan pulau terluar dan daerah perbatasan. UGM secara rutin mengirimkan mahasiswa KKN di berbagai penjuru tanah air, terutama di Papua. Pelajar dari pulau terluar dan daerah perbatasan dapat diterima di UGM melalui jalur khusus, atau bisa dengan menjalin kerjasama dengan universitas lokal untuk peningkatan kapasitas masyarakat setempat.
  5. Shidiq. Groningen. Menanyakan mengenai rekruitmen dosen dan masalah linieritas bidang study. Bu Rektor menyampaikan bahwa saat ini UGM membutuhkan banyak sekali dosen baru yang akan diterima melalui skema SK rektor. Masalah terkait linieritas sudah terselesaikan dengan adanya peraturan dari Dikti terkait definisi linieritas.
  6. Reki. Delft. Mengusulkan perbaikan kurikulum perkuliahan di UGM supaya tidak terlalu banyak mata kuliah, karena kenyataannya banyak overlap antar matkul. Matkul perlu dikuatkan pada basic keilmuan sehingga mahasiswa mengambil sedikit Matkul tapi dipelajari secara mendalam. Bu Rektor setuju dengan usul tersebut dan saat ini sedang dilakukan penyesuaian kurikulum, yang disesuaikan dengan Rencana Induk Kampus UGM selama 25 tahun ke depan.

Haahhhhh, capekkkkk ngetik.

Akhirnya acara selesai dan ditutup pada pk.21:30. Seperti halnya acara KMF Kagama Belanda sebelum2nya, acara diakhiri dengan foto bersama. Tapiii, ada sedikit yang bikin cemas. Sebagai salah satu penduduk dari pelosok Belanda, saya cukup deg-deg’an bakal ketinggalan sepur terakhir untuk pulang ke Enschede. Seusai topoto, saya-pun langsung pamit..dan mengabaikan panggilan mas Azis untuk mbungkus R.A.W.O.N.. Saya berlari menuju halte dengan hati yang sedih dan tupperware yang tetep kosong. Maafkan aku istriku, takda rawon yang dibawa pulang..

IMG-20160205-WA0002

Fyi, KMF adalah kependekan dari Kumpul, Makan, Foto. Acara rutin Kagama Belanda yang isinya gak jauh2 dari kumpul-jagongan-guyonan sambil makan-minum dan diakhiri foto-foto. Yang tidak kalah heboh adalah paska-acara selesai, bungkus2! Yes, pasukan bungkus-bungkus selalu ada di tiap acara KMF, salah duanya yang ada di foto berikut.. ingat wajah mereka baik2.. 🙂

IMG-20160204-WA0014

——

Enschede, 5 February 2016

17:53 CET

 

 

Menaksir Kerugian Ekologis Erupsi Gunung Merapi 2010

Published / by Hero Marhaento SHut MSi

Citasi: Marhaento, H., & Kurnia, A. (2015). REFLEKSI 5 TAHUN PASKA ERUPSI GUNUNG MERAPI 2010: MENAKSIR KERUGIAN EKOLOGIS DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI. Geoplanning: Journal Of Geomatics And Planning, 2(2), 69-81. doi:10.14710/geoplanning.2.2.69-81

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung paling aktif di dunia. Erupsi Gunung Merapi terjadi dalam siklus 4 – 6 tahun sekali (Surono dkk., 2012). Menurut Van Boekhold (1972) dan Newhall dkk (2000), erupsi Gunung Merapi yang terdokumentasi pertama kali terjadi pada tahun 1786 – 1791. Van Bemellen (1942) dalam bukunya ‘The Geology of Indonesia’ menyampaikan bahwa pada tahun 1006 diduga pernah terjadi erupsi besar Gunung Merapi sehingga mengubur candi Borobudur dan menghancurkan kerajaan Mataram Kuno (berpindah ke Jawa Timur). Secara berurutan, sejak terdokumentasi pada tahun 1791 erupsi Gunung Merapi skala besar terjadi pada tahun 1822, 1872, dan 1930 (Voight dkk., 2000). Pada 10 tahun terakhir, tercatat 2 erupsi cukup besar yang terjadi pada tahun 2006, dan puncaknya pada tahun 2010 yang diperkirakan merupakan siklus ulang 100 tahunan Gunung Merapi (Surono dkk., 2012).

merapi

sumber foto: kaskus.co.id

Kronologi kejadian erupsi Gunung Merapi tahun 2010 dimulai pada tanggal 20 September 2010 dimana status Gunung Merapi ditingkatkan dari ‘normal’ menjadi ‘waspada’ (Surat Badan Geologi No. 46/45/BGL.V/2010). Pada 21 Oktober 2010, status tersebut meningkat menjadi ‘siaga’ (Surat Badan Geologi No. 393/45/BGL.V/2010). Puncaknya pada tanggal 25 Oktober 2010 saat status Gunung Merapi ditetapkan menjadi ‘awas’ (Surat Badan Geologi No. 2048/45/BGL.V/2010). Pada tanggal 26 Oktober 2010, Gunung Merapi erupsi pertama kali dengan mengeluarkan awan panas (wedhus gembel) yang kemudian disusul letusan besar pada tanggal 5 November 2010. Menurut data Pusat Informasi Pengembangan Pemukiman dan Bangunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (PIP2BDIY), erupsi Gunung Merapi sejak tanggal 26 Oktober 2010 telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 346 orang (www.pip2bdiy.org). Kerusakan yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi berdampak pada sektor permukiman, infrastruktur, telekomunikasi, listrik dan energi, serta air bersih.

Berdasarkan hasil penilaian kerusakan dan kerugian yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui metode dari Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC) (www.eclac.cl), erupsi Gunung Merapi tahun 2010 telah menimbulkan kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 4,23 trilyun (www.bnpb.go.id). Lebih rinci dijelaskan bahwa jumlah nilai kerusakan adalah Rp. 1,138 trilyun (27%), sedangkan jumlah nilai kerugian adalah Rp. 3,089 trilyun (73%). Nilai kerusakan paling besar dialami oleh sektor perumahan yang mencapai 39% dari total nilai kerusakan, disusul oleh kerusakan sektor sumber daya air dan irigasi yang mencapai 13% dari total nilai kerusakan. Kerugian terbesar dialami sektor pertanian dengan nilai kerugian mencapai Rp. 1,326 trilyun atau 43% dari total nilai kerugian. Disusul oleh kerugian sektor industri dan UMKM sebesar Rp. 382 milyar atau 12,4% dari nilai kerugian. Secara keseluruhan sektor pertanian budidaya dan tanaman pangan tetap menjadi sektor yang paling terkena dampak  dengan nilai total dampak Rp. 1,326 trilyun yang merupakan 31,4% dari nilai total kerusakan dan kerugian. Sektor Perumahan senilai Rp. 512,6 milyar yang merupakan 13% dari nilai kerusakan dan kerugian serta sektor industri dan UMKM dengan nilai total dampak sebesar 415,4 Milyar atau 11% dari total.

Perhitungan kerusakan dan kerugian akibat bencana erupsi Gunung Merapi oleh BNPB tersebut adalah hasil perhitungan aset rusak yang dimoneterisasi (nilai langsung), sementara kerugian tidak langsung dari dampak erupsi yaitu kerusakan ekosistem, keanekaragaman hayati dan penurunan fungsi ekologis jangka pendek dari kawasan Gunung Merapi belum dapat diukur nilai kerugiannya. Hancurnya berbagai tipe vegetasi akibat awan panas berdampak pula pada kematian berbagai jenis satwa liar yang berhabitat di kawasan hutan Gunung Merapi (Dove, 2008). Sebagian satwa liar yang masih bertahan hidup pun rentan mengalami kematian karena keterbatasan sumber pakan yang diakibatkan rusaknya habitat. Beberapa satwa liar yang dimungkinkan selamat juga mengalami ancaman kematian karena keterbatasan tempat pelarian (refugee) di sekitar kawasan Gunung Merapi. Selain itu, kerusakan daerah tangkapan air akan mempengaruhi pasokan air ke wilayah hilir dan kerusakan hutan akan mengurangi potensi penyedia oksigen dan penyerap karbon (Djuwantoko dkk., 2005).

Menurut UU No.5 tahun 1990 Taman Nasional adalah salah satu bentuk kawasan konservasi yang dicirikan dengan keberadaan ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Terdapat 3 fungsi utama dalam pengelolaan taman nasional, yaitu: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, (3) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Indrawan dkk. (2007) menjelaskan bahwa paling tidak terdapat tiga alasan ditetapkannya suatu kawasan sebagai area konservasi yaitu adanya aspek keunikan (khas), keterancaman, dan kegunaan.

Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan kawasan konservasi yang unik. Selain menyangga gunung api paling aktif di Indonesia, ekosistem hutan di TNGM berfungsi sebagai daerah tangkapan air kawasan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, habitat berbagai flora dan fauna yang dilindungi, kantong berbagai plasma nutfah yang potensial, dan fungsi sosial dan religius (Djuwantoko dkk., 2005; Dove, 2008). Keberadaan Gunung Merapi yang dapat meletus sewaktu-waktu menyebabkan ekosistem di TNGM memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi (Marhaento dan Faida, 2015). TNGM dikelola oleh Balai Taman Nasional (BTN) Gunung Merapi yang memiliki 2 Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN), yaitu SPTN I yang mencakup wilayah Kabupaten Magelang dan Kabupaten Sleman, dan SPTN 2 yang mencakup wilayah Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali. SPTN 1 mencakup 4 RPTN yaitu RPTN Turi-Pakem, RPTN Cangkringan, RPTN Srumbung dan RPTN Dukun, sedangkan SPTN 2 mencakup 3 RPTN yaitu RPTN Selo, RPTN Musuk-Cepogo dan RPTN Kemalang.

Valuasi ekonomi lingkungan merupakan suatu instrumen ekonomi untuk mengestimasi nilai moneter dari produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan (Garrod dan Willis, 1999; ). Instrumen ini penting digunakan untuk mengukur potensi keuntungan/kerugian yang disebabkan oleh adanya perubahan pemanfaatan sumber daya alam (Pramono, 2009). Pada suatu ekosistem yang rapuh seperti halnya di TNGM, valuasi ekonomi lingkungan dapat digunakan sebagai alat untuk menaksir potensi kerugian ekologis yang muncul apabila ekosistem yang ada di kawasan tersebut rusak.

Tanggal 26 bulan Oktober 2015 ini akan menjadi peringatan 5 tahun kejadian erupsi Gunung Merapi yang menimbulkan ratusan korban jiwa dan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kerusakan yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) paska erupsi Gunung Merapi tahun 2010 sekaligus menaksir kerugian ekologis jangka pendek yang ditimbulkan. Kerugian jangka pendek yang dimaksud adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat rusaknya sumber daya alam sesaat setelah terdampak erupsi.

Selengkapnya >>> DOI: 10.14710/geoplanning.2.2.69-81

 

Halo dunia!

Published / by Hero Marhaento SHut MSi

Beberapa hari yang lalu dapat email dari admin ugm.co.id yang berisi anjuran untuk mengaktifkan blog pribadi. Agak males sebenarnya untuk merespon, karena niat membuat blog pribadi sudah ada sejak dulu tetapi selalu saja terbelengkalai. Bahkan, domain marhaento.com yang sudah saya buat 6 bulan yang lalu pun masih sepi postingan hingga saat ini. Nah, sekarang ada himbauan untuk membuat blog pribadi melalui domain ugm.ac.id, terus aku kudu piye?

Saya akui bahwa punya blog pribadi ada banyak manfaatnya, namun menurut saya juga ada mudharatnya. Saya mulai dari mudharatnya saja. Pertama, blog pribadi melatih orang jadi kepo. Menurut Kitabgaul.com, kepo berasal dari bahasa hokkian Ke = Bertanya, Po (Apo) = Nenek2 yang apabila dirangkai menjadi ‘nenek2 yg suka bertanya2’ alias pengen tau banget. Definisi ini jangan dianggap serius yaa. Padahal ajaran agama menganjurkan supaya kita tidak berprasangka, tidak menduga-duga, yang jatuhnya bisa menjadi dosa. Lho, kok bisa sampai dosa? Iya donk, semisal saya posting cerita jalan-jalan dan kuliner, kemudian ada yang ngiri terus kepikiran bahwa jalan-jalan saya cuma photosop’an aja, khan jadi fitnah trus tambah dosa. Hanya gara-gara blog pribadi. Kedua, blog pribadi melatih orang jadi riya. Apa sih riya?  riya kurang lebih berarti pamer. Kalau kepo yang berpotensi kena dosanya orang lain atau pembaca, klo pamer ini yang berpotensi kena dosa saya. Terus terang saya takut kalau ada orang yang kemudian mencap saya orang yang pamer gegara posting lagi jalan-jalan. Padahal niatnya bukan mo pamer, tapi cuma pengen menginfokan ke temen-temen semua klo saya lagi jalan-jalan.. itu pamer juga yaa namanya, mbuhlah.. Hehee 😀

Selain berdampak kurang baik, harus diakui memiliki blog pribadi punya banyak manfaatnya. Pertama, sebagai media penyimpan data dan informasi pribadi. Seperti hal nya facebook, drop-box, email. dll, saya menganggap teknologi cloud storage ini sangat bermanfaat. Kita bisa menyimpan berbagai file foto dan tulisan di laman blog pribadi, yang sewaktu-waktu bisa kita lihat dan unduh. Kedua, membantu orang lain memahami opini dan pendapat pribadi saya terhadap persoalan tertentu. Terkadang saya malas memberi komentar di facebook atau twitter mengenai kejadian kekinian yang terjadi di indonesia maupun dunia. Malasnya karena hanya akan berbalas pantun dengan para komentator lainnya. Seperti kejadian saat Pilpres 2014 yang lalu, saya terseret arus netizen lain yang secara frontal masuk dalam perang dukungan antara capres Jkw dengan Prb. Hampir setiap hari pantengin timeline karena ingin tahu respon orang lain terhadap postingan atau komentar saya di facebook. Tangan selalu gatal ingin membalas komentar racun dengan racun. Huh, saat itu benar-benar menjadi momen yang sangat saya selali. Nah, saya merasa blog pribadi ini dapat menyelamatkan saya dari lembah kenistaan itu, tidak perlu berbalas pantun dengan orang lain, cukup baca saja jalan pikiran saya. Setuju sukur, nggak setuju juga karepmu.  Ketiga, saya terinspirasi dengan blogger kenamaan bernama: Astuti Tri Padmaningsih, di padmaningsih.wordpress.com. Ya, blog milik istri saya yang berisi banyak informasi mengenai kehidupan kami di Belanda. Banyak sekali yang mengaku merasa terbantu dengan informasi yang ada di blog milik istri saya tersebut, terutama pelajar-pelajar yang akan dan baru saja datang ke Belanda. Saya beranggapan, apabila blog pribadi saya ini kelak membantu banyak orang, tentusaja akan menjadi ladang pahala bagi saya.. Aamiin

Akhirnya, selamat menikmati blog ini, semoga bermanfaat untuk rekan-rekan semua.